Total Tayangan Halaman

Minggu, 16 Oktober 2011

geografi budaya


Geografi budaya


OLEH
NAMA       :  SYAIYAM MASKUR
NIM  : 10914A0091
PRODI       : GEOGRAFI V F


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
2011
PENGERTIAN
Cipta. kemampuan berpikir yang menimbulkan ilmu pengetahuan
Rasa.karya seni /kesenian
Karsa.Kehendak untuk hidup sempurna, mulia dan bahagia yang menimbulkan kehidupan beragama dan kesusilaan.
BUDAYA ATAU KEBUDAYAAN
Diskusi tentang pengertian budaya atau kebudayaan terus mengalir di berbagai forum sampai saat ini. Tentang pedefinisian kebudayaan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tokoh antropologi Indonesia, Koentjaraningrat. Sebagian ahli membedakan antara pengertian budaya dengan kebudayaan. Budaya sering diartikan sebagai “konsep pemikiran”, sementara kebudayaan mencakup semua aspek, konsep pemikiran dan produknya. Koentjaraningrat tidak membedakan itu. Secara etimologis, “Budaya berasal dari kata budi dan daya (budi daya) atau daya (upaya atau power) dari sebuah budi, kata budaya digunakan sebagai singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama” (Koentjaraningrat, 1980:81-82). Dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, berasal dari bahasa latin colere yang berarati mengolah atau megerjakan, dengan demikian culture diartikan sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah alam (Ibid: 182). Dalam kamus Bahasa Indonesia, juga tidak terlihat dengan tegas perbedaan pengertian budaya dan kebudayaan. “budaya diartikan sebagai buah atau hasil pikiran/akal budi”. Kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan bathin (akal budi) manusia , seperti kepercayaan, kesenian, dan atat istiadat (Pusbinbangsa, 1983).
Dalam kajian lebih jauh, Irianto (1997: 56-57) , setidaknya ada dua aliran dalam pendefinisian kebudayaan, yaitu positivisme dan interpretivisme. Perbedaan mendasar pada kedua aliran tersebut terletak pada paradigma tentang hubungan manusia dengan alam sekitar. Aliran positivisme memandang manusia sebagai bagian dari alam yang tunduk pada hukum-hukum sosial, perilakunya dapat dipelajarai melalui pengamatan dan diatur oleh sebab-sebab eksternal. Sebaliknya aliran interpretivisme memandang manusia sebagai anggota-anggota masyarakat yang saling membagikan suatu system social dan system makna. Manusia mendiuduki posisi sentral, kenyataan dan relaitas social merupakan hasil ciptaan manusia yang diatur melalui sistem makna. Koentjaraningrat dikelompokkan ke dalam aliran positivisme yang mengartikan budaya atau kebudayaan sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan mesayarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar.
Sementara Parsudi Suparlan disebut sebagai wakil dari golongan intepretivisme yang mendefenisikan budaya atau kebudayaan merupakan seperangkat kemampuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk bio-sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan dalam mewujudkan perilaku. Dalam pengertian ini kebudayaan merupakan “mekanisme kontrol” bagi semua perilaku manusia. Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan, petunjuk, resep, rencana, dan strategi, yang terdiri atas serangkaian model kognitif yang digunakan secara selektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya. (Parsudi suparlan, dalam Soerjani,M 1983 : 72).
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, batasan antara pengertian budaya dengan kebudayaan tidak terlihat dengan tegas. Terlepas dari perdebatan itu, dalam tulisan ini pengertian budaya lebih kepada sistem nilai dan norma yang mendasari perilaku manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Daoed Joesoef (1982), “budaya merupakan sistem nilai dan ide yang dihayati oleh sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu di suatu kurun tertentu”. Sementara kebudayaan diartikan sebagai semua hal yang terkit dengan budaya. Dalam konteksi tinjauan budaya dilihat dari tiga aspek, yaitu pertama, budaya yang universal yaitu berkaitan niliai-nilai universal yang berlaku di mana saja yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi. Kedua, budaya nasional, yaitu nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia secara nasional. Ketiga, budaya local yang eksis dalam kehidupan masayarakat setempat. Ketiga aspek ini terkait erat dengan sistem pendidikan sebagai wahana dan proses pewarisan budaya.
PROSES PEMBUDAYAAN
A. Proses Belajar Budaya :
1) Proses Internalisasi
Manusia terlahir dengan potensi bawaan; perasaan, hasrat, nafsu, emosi, dan seterusnya. Sepanjang kehidupan (dari lahir sampai mati) manusia menanamkan dalam kepribadiannya hal-hal yang diperlukan dalam kehidupan. Individu berusaha memenuhi hasrat dan motivasi dalam dirinya; beradaptasi, belajar dari alam dan lingkungan sosial dan budayanya.
2) Proses Sosialisasi
Individu belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan sesama, dari individu yang menduduki aneka peranan sosial. Sosialisasi berarti proses belajar anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat di lingkungannya.
3) Proses Enkulturasi
Individu mempelajari dan menyesesuaikan alam pikiran dan sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, dan peraturan-peratruran dalam kebudayaannya. Kalau pada awal meniru, sesuai dengan perkembangan kehidupan, ‘membaca’, menghayati, hingga menjadi pola tindakan.
B. Proses Perkembangan Budaya :
1) Cultural Evolution
Proses evolusi dari suatu masyarakat dan kebudayaan dapat dianalisa oleh seorang peneliti seolah-olah dari dekat secar detail atau dapat juga dipandang dari jauh hanya dengan memperhatiakn perubahan-perubahan yang besar saja. Proses evolusi sosial budaya yang dianalisa secara detail akan membuka mata seorang peneliti untuk berbagai macam proses perubahan yang terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-hari dalam setiap masyarakat di dunia.

2) Diffusion Process
Proses difusi ini terjadi karena adanya penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi. Oleh karena itu, unsur-unsur kebudayaan dam sejarah juga ikut menyebar. Salah satu bentuk difusi dibawa oleh kelompok-kelompok yang bermigrasi. Namun bisa juga tanpa adanaya migrasi, tetapi karena ada individu-individu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu, seperti para pedagang dan pelaut.
3) Alculturation Process
Poses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan demikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
4) Assimilation Process
Proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda-beda. Kemudian saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan yang campuran.
5) Innovation
Inovasi adalah suatu proses pembaruan dari penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal, pengaturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi, dan dibuatnya produk-produk baru. Proses inovasi sangat erat kaitannya dengan teknologi dan ekonomi. Dalam suatu penemuan baru biasanya membutuhkan proses sosial yang panjang dan melalui dua tahap khusus yaitu discovery dan invention.

6) Discovery and Invention
Discovery adalah suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru, baik berupa suatu alat baru, ide baru, yang diciptakan oleh individu atau suatu rangkaian dari beberapa individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Discovery baru menjadi invention apabila masyarakat sudah mengakui, menerima, dan menerapkan penemuan baru itu.
Sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia yang beradab, kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentuknya dari segala ilmu pengetahuan yang dianggap betul-betul vital dan sangat diperlukan dalam menginterpretasi semua yang ada dalam kehidupannya. Hal ini diperlukan sebagai modal dasar untuk dapat berdaptasi dan mempertahankan kelangsungan hidup (survive). Dalam kaitan ini kebudayaan di pandang sebagai nilai-nilai yang diyakini bersama dan terinternalisasi dalam diri individu sehingga terhayati dalam setiap perilaku. Nilai-nilai yang dihayati ataupun ide yang diyakini tersebut bukanlah ciptaan sendiri dari setiap individu yang menghayati dan meyakininya, semuanya itu diperoleh melalui proses belajar. Proses belajar merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi. Proses pewarisan tersebut dikenal dengan proses sosialisasi atau enkulturasi (proses pembudayaan).
Sekolah atau pendidikan formal adalah salah satu saluran atau media dari proses pembudayaan Media lainnya adalah keluarga dan institusi lainnya yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk “memanusiakan manusia” tepatnya “memanusiakan manusia muda” (meminjam istilah Dick Hartoko). Sejalan dengan itu, kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat yang bersangkutan). Dalam pengertian ini, pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Daoed Joesoef memandang pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah kelseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukansebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai maklhuk bio-sosial.
Pendidikan adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Secara tidak langsung, pola ini menjadi proses melestarikan suatu kebudayaan. Sejalan dengan ini, Bertrand Russel mengatakan pendidikan sebagai tatanan sosial kehidupan bermasyarakat yang berbudaya. Melalui pendidikan kita bisa membentuk suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tentram dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya. Ibnu Khaldun mempertegas lagi bahwa pendidikan dan pengajaran sebagai salah satu gejala sosial yang memberi ciri masyarakatnya-masyarakat maju.
Lebih jauh, Ibnu khaldun membagi ilmu dan pengajaran ke dalam berbagai kategori, yaitu (1) ilmu Naqli yang bersumber pada Kitab Alqur’an dan Sunnah, (2) ilmu Aqli (ilmu yang berhubungan dengan otak) terdiri dari ilmu fisika (ilmu tentang benda), ilmu ilahiyat (ketuhanan atau metafisika), ilmu matematika, ilmu musik “ pengetahuan tentang asal-usul ritme, ilmu hay’ah (astronomi), (3) ilmu logika yaitu ilmu yang memilihara otak dari kesalahan. Sejalan dengan ini, konsep agama tentang pendidikan pada hakekatnya upaya untuk hijrah dari sifat-sifat negatif seperti kebodohan, iri, dengki, sombong, congkak, boros, tidak efisien, emosional, dsb. Ke sifat-sifat yang positif seperti cerdas, tenggang rasa, teliti, efisien, berpikiran maju dan bertindak atas dua dasar aturan yaitu hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan Allah.
Semua sifat positif yang diharapkan tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku yang religius, cekatan, terampil, dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang salah dan benar, menghargai semua hal yang menjadi bahagian kehidupan di alam ini termasuk segala bentuk perbedaan di antara kita sesama manusia. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat pada saat yang tepat, serta mampu mengembangkan potensi diri dalam upaya meningkatkan kualitas pribadi, keluarga, kelompok, agama, bangsa dan negara. Semua ini merupakan unsur pokok dalam proses pembentukan masyarakat yang sejahtera, survive, adil, makmur, dan penuh kedamaian.
Untuk mewujudkan hal tersebut, para penyelenggara pendidikan harus yakin bahwa program dan proses pembelajaran dapat menggiring siswa agar mampu menggunakan segala apa yang telah dimilikinya –yang diperoleh selama proses belajar– sehingga bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya, baik kehidupan secara akademis maupun kehidupan sehari-hari. Perlu juga ditekankan di sini bahwa dalam dunia kehidupan nyata, antara kehidupan akademis dan non akademis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu seharusnya, program dan proses pembelajaran tidak membuat dikotomi (memisahkan secara tegas) di antara keduanya. Semua ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah upaya membangun budaya suatu masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang modern, maju, dan harmoni yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang diyakini bersama oleh suatu masyarakat.
IV. Proses Pembudayaan melalui PendidikanFormal
Proses pembudayaan (enkulturasi) adalah upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang yang didasari oleh ilmu pengetathuan, keterampilan sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pembelajaran dalam konsep enkulturasi adalah perubahan perilaku siswa. Hal ini sejalan dengan 4 (empat) pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco, Belajar bukan hanya untuk tahu (to know), tetapi juga menggiring siswa untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata (to do), belajar untuk membangun jati diri (to be), dan membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together). Untuk itu, pembelajaran berlangsung secara konstruktivis (developmental) yang didasari oleh pemikiran bahwa setiap individu peserta didik merupakan bibit potensial yang mampu berkembang secara mandiri. Tugas pendidikan adalah memotivasi agar setiap anak mengenali potensinya sedini mungkin dan menyediakan pelayanan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki serta mengarahkan pada persiapan menghadapi tantangan ke depan. Pendidikan mengarah pada pembentukan karakter, performa yang konkrit (observable) dan terukur (measurable) yang berkembang dalam tiga ranah kemampuan, yaitu: kognitif, psikomotor, dan afektif. Pengembangan kemampuan pada ketiga ranah tersebut dilihat sebagai suatu kesatuan yang saling melengkapi.
Untuk menjamin kekonsistenan antara tujuan pendidikan dengan pembentukan manusia yang berbudaya (enkulturasi), perlu dirancang desain pembelajaran di sekolah yang tidak terlepas dari kondisi kehidupan nyata. Antara dunia pendidikan dan dunia nyata terkait dengan hubungan sinergis. Dengan demikian, antara nilai-nilai yang ditanamkan dengan pengetahuan akademis terikat dengan hubungan yang kontinum. Tidak satupun dari komponen ilmu pengetahuan yang terlepas dari nilai dan norma budaya. Proses pembelajaran yang demikian dapat digambarkan melalui diagram berikut ini:
http://fikrieanas.files.wordpress.com/2008/09/pembelajaran-budaya-2.jpg?w=427&h=344
Keterangan diagram:
Kecakapan hidup merupakan tujuan dari seluruh mata pelajaran yang mencakup ketiga ranah kemampaun yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Pendidikan kecakapan hidup memiliki tiga dimensi tujuan yaitu;
Dimensi pertama, adalah penguasaan dan kepemilikan konsep-konsep dasar keilmuan dengan prinsip-prinsip utamanya. Konsep dasar tersebut dibangun berdasarkan materi esensial yang merupakan bagian integral dari keilmuan (body of knowledge). Konsep dasar ini umumnya bersifat general sehingga dapat digunakan atau terkait dengan disiplin ilmu yang lain (transferable). Konsep dasar ini harus dukuasai sebagai pondasi untuk menuju ke kecakapan hidup yang diinginkan.
Dimensi kedua adalah penguasaan atau kepemilikan kecakapan proses atau metode. Kecakapan ini merupakan kecakapan generic yang dipersyaratakan bagi setiap siswa untuk semua jenjang pendidikan yang mmeungkinkan setiap siswa memiliki kemampuan beradaptasi (adaptability) dan kecakapan menanggulangi (cope ability) serta kecakapan untuk mempelajari (learning to learn). Dengan dimensi ini siswa dibiasakan dan dimotivasi unuk menggunakan pengetahuannya dalam praktek kehidupan di dunia nyata yang didasari oleh kaidah-kaidah pengembangan (proses) keilmuan. Kedua dimensi ini tidak diperoleh secara terpisah, ataupun secara berurutan, melainkan diperoleh secara simultan. Karena konsep-konsep dasar (dimensi pertama) tidak akan dapat diperoleh siswa jika dengan hanya menghafal tanpa ada upaya melakukan inquiry melalui dimensi kedua.
Dimensi ketiga adalah kecakapan penerapan konsep dan proses dalam kehidupan sehari-hari sehingga pembelajaran berlangsung dengan berwawasan lingkungan (kontekstual). Dengan demikian, siswa akan terbiasa dengan perilaku yang didasari oleh berbagai kecakapan yang diperoleh melalui belajar. Artinya tidak ada jarak antara pengetahuan yang dimiliki dengan perilaku sehari-hari. Proses ini akan membangun perilaku dan sikap manusia sebagai cerminan dari sikap dan perilaku makhluk yang berbudaya.
Terkait dengan proses pewarisan budaya, ketiga aspek budaya (universal, nasional, dan lokal), sebagaimana disebutkan pada bagian pendahuluan, di desain dalam suatu kurikulum dengan memberikan prosi yang seimbang di antara ketiga aspek tersebut. Keseimbangan yang dimaksud adalah, nilai budaya universal dalam kurikulum dirancang mengacu pada perkembangan IPTEK, sementara kurikulum nasional mengacu pada nilai-nilai nasional yang terwujud sebagai aplikasi IPTEK dan kehididupan berbangsa dan bernegara(wawasan kebangsaan dan nusantara). Budaya lokal menjadi isi dan wahana pembelajaran melalui pemanfaatan lingkungan (sisial, alam, dan budaya) sebagai sumber belajar. Ketiga aspek tersebut diususun secara sinergis sehingga muatan ketiga aspek tersebut tidak berpengaruh pada beban belajar siswa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar